Sunday, April 21, 2013
Ultras : Sensasi Liar Dan Keindahan Dalam Sepakbola
Di belahan dunia manapun, kekerasan akan menjadi suatu fenomena yang tidak biasa, [akan] tetapi kekerasan juga merupakan 'pemanis' dalam lembaran sejarah yang coba dituliskan oleh sang waktu.
Hal ini berlaku juga di dalam dunia sepakbola. Kekerasan yang kadang terselip dalam halaman sejarah perjalanan olahraga yang paling banyak digemari di seluruh penjuru dunia ini mampu memberikan warna tersendiri.
Kekerasan atau kekacauan atau chaos yang hadir di tribun stadion maupun di luar stadion dalam sebuah laga sepakbola adalah sesuatu yang mengerikan jika dipandang dari asas logika kapital dan juga nilai-nilai semu moralis, tetapi di sisi lain hal ini adalah daya tarik tersendiri yang mampu memompa adrenalin melampaui kotak benar-salah.
Berbicara perihal kekerasan di dalam sepakbola tentu kita tidak dapat menihilkan para Ultras, dan Italia berada di posisi pertama sebagai negara penghasil Ultras ternama di dunia.
Sebut saja Brigate Rossonere [AC Milan], The Boys [Inter Milan], Juventus Fighters/Drughi/Tradizione Bianconera [Juventus], Granata Ultras [Torino], Roma Boys [AS Roma], Irriducibili [Lazio], Black and Blue Brigade [Atalanta], Yellow-blue Brigade [Hellas Verona], Naples Ultras [Napoli], Viola Club Viesseux [Fiorentina], dan masih banyak lagi.
Keseluruhan Ultras tersebut mempunyai satu kesamaan karakter yang unik dan menarik, yaitu fanatisme berlebih terhadap klub sepakbola kesayangan mereka. Kehadiran dan semangat mereka akan selalu memberikan warna tersendiri di dalam stadion.
Para Ultras ini selalu menunjukkan sikap fanatisme yang tak kenal lelah ketika menyaksikan tim pujaannya bertanding. Mereka akan terus bernyanyi hingga laga usai, atau mereka akan terus berdiri di sepanjang pertandingan. Mereka juga sebisa mungkin akan terus menonton langsung klub kesayangannya di stadion manapun, termasuk di luar negeri.
Para Ultras juga tidak akan berhenti untuk terus melancarkan intimidasi kepada klub ataupun fans lawan. Bahkan mereka tak segan untuk melakukan kekerasan, hingga membunuh, dalam usaha mengintimidasi lawan. Vincenzo Paparelli, misalnya, yang merupakan seorang Irriducibili tewas akibat lemparan bom molotov oleh Roma Boys dalam Derby della Capitale pada bulan Oktober 1979.
Satu lagi hal unik dari para Ultras di Italia ini adalah mereka mempunyai slogan atau semboyan yang menjadi 'pemersatu' di antara mereka yakni A.C.A.B atau All Cops Are Bastard. Para Ultras akan lebih kejam dan sadis ketika melawan polisi ketimbang berhadapan dengan Ultras lainnya.
Salah satu contoh kasus yang menjadi implementasi A.C.A.B terjadi pada awal 2007 lalu dalam laga Catania vs Palermo di mana seorang polisi bernama Filippo Raciti dibunuh oleh Ultras dari kedua klub. Semboyan A.C.A.B ini pun pernah difilmkan secara epik oleh Stefano Sollima dengan judul yang sama.
Sisi menarik lainnya dari para Ultras ini adalah isu yang mereka bawa tidak selalu persoalan mengenai sepakbola saja. Mereka juga mengemukakan isu politik yang hampir dari kesemuanya menyangkut tentang kepentingan kaum marjinal atau kaum yang terpinggirkan atau kelas pekerja.
Italia adalah sebuah negara dengan akar sejarah fasisme yang kuat, namun para Ultras ini lebih memilih ideologi 'kiri' untuk menjadi tema sentral yang selalu mereka angkat. Salah satu contohnya adalah Brigate Autonome Livornesi [Ultras klub Livorno] dengan ideologi komunismenya yang secara tegas melakukan perlawanan terhadap barisan Ultras 'sayap kanan' di Italia. Christiano Lucarelli, seorang pemain dan ikon pujaan Livorno, pernah secara monumental melayangkan 'tinju ke udara' yang kemudian menjadi antidot dari 'Fascist Salute' Paolo Di Canio.
Tetapi tidak semua Ultras berhaluan 'kiri'. Dua Ultras ibukota Italia, Irriducibili [Lazio] dan Roma Boys [AS Roma], cenderung memilih jalur politik 'kanan', kedua Ultras ini adalah penganut neo-fasisme yang taat. Kedua Ultras dari kota Roma ini tak akan ragu untuk bekerja sama dan saling membantu jika berbicara mengenai ideologi politik. Hal ini pernah mereka tunjukkan dalam beberapa zine yang mereka terbitkan. Salah satu contohnya adalah ketika Irriducibili dan Roma Boys pernah sama-sama menyerukan penentangan terhadap invasi Amerika Serikat ke Irak dalam salah satu terbitan zine mereka. Tidak hanya itu, Irriducibili dan Roma Boys juga merupakan barisan Ultras yang paling sering membawa isu politik paling 'kanan' ke dalam stadion. Mereka, misalnya, pernah membentangkan spanduk raksasa dalam sebuah laga yang berisikan dukungan terhadap Zeljko Razanotovic, seorang penjahat perang yang menyebabkan terjadinya perang Yugoslavia 1990. Atau mereka pernah menyatakan secara terang-terangan menyerukan anti-semit serta mendukung aksi rasialisme terhadap pemain kulit hitam di Italia.
Roma Boys [dan Irriducibili] juga pernah melakukan protes terhadap pemerintah Italia yang mengurangi pasokan listrik di beberapa wilayah kelas pekerja di kota Roma. Kedua Ultras paling 'kanan' di Italia ini juga pernah melakukan suatu aksi kolektif dengan membantu memberikan rumah [lengkap dengan propertinya] bagi keluarga-keluarga kurang mampu di kota Roma.
Sebuah penyegaran tersendiri [paling tidak bagi saya] ketika melihat para Ultras tersebut di tengah-tengah hegemoni komoditas kapitalisme dan komersialisasi sepakbola modern. Bentuk resistensi yang dihadirkan oleh para Ultras tersebut mampu mewakili suara-suara terpinggirkan tentang kemuakan terhadap segelintir milyarder yang --melalui kekuasaan politik dan kekuatan finansialnya-- merusak kesucian dan tradisi sepakbola. Suara-suara tersebut kini kembali menggema dalam spanduk-spanduk bertuliskan "Against Modern Football" yang tergantung di stadion-stadion seantero Eropa.
Mungkin beberapa pakar humanisme menyebut para Ultras tersebut sebagai barisan kelompok fanatis yang brutal dan tidak beradab. Namun tidak bagi saya. Kehadiran Ultras adalah 'pemanis': mereka adalah keliaran yang mampu menghadirkan seni yang paling indah dalam sepakbola.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Follow @SemuaInfoBola_ ya! Acc twitter kami!