Ada beberapa macam hal yang menjadi bagian dari masa lalu yang ternyata tak dapat dilupakan begitu saja meski sang waktu terus bergerak tak kenal lelah.
Masa lalu atau sejarah seringkali menjalankan perannya dalam berbagai cara dan bentuk yang tidak masuk akal. Rentetan catatan sejarah dan romantisme masa lalu dapat begitu mempengaruhi setiap tindakan seseorang di masa kini.
Sepakbola, tak ubahnya sejumlah hal dalam kehidupan fana, diliputi oleh berbagai macam sejarah yang tak terkalahkan oleh perjalanan jaman yang seringkali menjadi landasan untuk memahami seluk beluk olahraga nomor satu di dunia ini --dengan atau tanpa kesadaran. Selalu ada yang istimewa saat kita tersesat dalam romantisme labirin sejarah.
Saya adalah salah satu pemuda yang dibesarkan dalam lingkup sepakbola bernuansa Italia, dan waktu pertama kali mengenal hingar bingar Serie A Italia, saya tidak terlalu memperhatikan makna di balik nomor punggung pada sebuah jersey yang dikenakan oleh para pemain di atas lapangan hijau. Saya hanya menganggap nomor-nomor tersebut sebagai penanda pemain dalam suatu klub atau tim sepakbola, tak ubahnya nomor urut absen dalam kelas saya sewaktu sekolah dulu.
Namun tahun demi tahun yang berlalu mengajarkan saya suatu hal tentang kesakralan nomor punggung yang tertera dalam jersey sepakbola. Tentang bagaimana nomor punggung jersey menjadi alat justifikasi seberapa hebat skill pemain yang mengenakannya di atas lapangan. Sebuah makna historis melekat di dalamnya.
Numerologi? Bukan!
Ada beberapa nomor punggung yang dianggap sebagai angka keramat dalam sepakbola, dan hal ini murni karena sejarah yang ada di baliknya. Sejarah yang dituliskan oleh sang pengguna jersey, sejarah yang menjadikan sepakbola sebagai identitasnya, sebuah kenangan yang akan membangkitkan memori siapa saja tentang romantisme masa lalu sang empunya jersey di atas lapangan hijau.
Contohnya adalah nomor punggung 9 yang menjadi identitas sebagai 'goal scoring jersey' dikarenakan jersey ini umumnya dikenakan oleh pemain-pemain haus gol. Sebut saja Sir Bobby Carlton atau Gary Lineker atau Alan Shearer dalam sepakbola Inggris. Di luar Inggris masih ada Filippo Inzaghi [Italia], Gabriel Batistuta [Argentina], Marco van Basten [Belanda], atau Ronaldo de Lima [Brasil].
Angka 7 juga menjadi angka yang mempunyai arti tak main-main dalam jersey sepakbola. Sejumlah jersey bernomor punggung 7 selalu identik dengan winger-winger top yang mampu menaklukkan dunia melalui gocekan-gocekan mautnya, sebut saja Garrincha [Brasil], Luis Figo [Portugal], atau Pierre Littbarski [Jerman] di jaman dulu. Jersey ini juga terkadang dikenakan oleh striker yang melegenda berkat gol-golnya seperti Andriy Shevchenko [Ukraina], Claudio Caniggia [Argentina], David Villa [Spanyol/Barcelona], atau Matthew Le Tissier [Inggris].
Jika masih ingin bukti kesakralan jersey no.7 dalam sepakbola, sebaiknya kalian menanyakannya pada Manchester United. Klub yang bermarkas di Old Trafford ini selalu menyerahkan jersey ini pada pemain-pemain hebat yang dianggap sebagai ikon klub seperti Bryan Robson, David Beckham, Eric Cantona, George Best, atau Cristiano Ronaldo --kecuali Antonio Valencia yang entah karena faktor apa mendapatkan kehormatan mengenakan jersey no.7 dalam skuad United saat ini.
Nomor 10 dan maestro sepakbola
Di antara beberapa nomor punggung yang dianggap sakral, nomor 10 adalah nomor yang paling banyak mengandung makna historis. Sebagian besar pemain yang mengenakan jersey ini sering diyakini sebagai pemain sepakbola hebat yang ditakuti sekaligus disegani oleh lawan, entah mulai kapan 'mitos' ini mulai tertanam di benak para pecinta sepakbola. Pemain bernomor punggung 10 sering dianggap sebagai roh permainan sebuah tim. Pemain tersebut adalah seorang jenius yang menjadi ritme permainan dan mampu merubah hasil akhir sebuah pertandingan.
Lihat saja Brasil di periode '60 dan '70-an. Pele --terlepas dari segala ketidakberesannya hari ini-- adalah pemilik jersey no. 10 timnas Brasil kala itu yang mampu mencetak 70 gol dan mempersembahkan tiga trofi Piala Dunia. Selepas Pele, tercatat pesepakbola-pesepakbola papan atas Brasil turut melestarikan kesakralan jersey no.10 ini seperti Zico, Rivaldo, Ronaldinho, Kaka, dan sekarang 'si bocah ajaib' Neymar. Selain kemampuan skill di atas rata-rata, setiap pesepakbola yang mengenakan jersey ini seperti mendapatkan tanggung jawab yang lebih dari hanya sekedar memenangkan sebuah pertandingan karena ada nilai-nilai historis yang harus terus dihidupkan.
Ranah sepakbola Italia juga tak jauh beda. Pada era '60-an muncul dua ikon pemilik jersey no.10 dari kota Milan yakni Gianni Rivera [AC Milan] dan Sandro Mazzola [Inter Milan]. Kedua pemain ini menuliskan catatan sejarah tersendiri bagi sepakbola Italia tentang persaingan rival klub sekota yang berkembang menjadi perebutan tempat di timnas Italia saat itu. Pelatih 'Azzurri' kala itu, Ferrucio Valcareggi, menilai bahwa dua maestro sepakbola ini tidak bisa dimainkan secara bersamaan karena alasan gaya permainan yang mirip dan rivalitas yang tak akan pernah padam di antara keduanya. Atas dasar ini, Valcareggi menciptakan sebuah strategi yang dikenal dengan sebutan 'Staffetta'. Taktik 'staffetta' ini adalah strategi yang menjadwalkan dua pemain ini tampil bergantian: Mazzola tampil di babak pertama sedangkan Rivera tampil di babak kedua. Strategi jenius ini menjadikan timnas Italia sebagai tim yang benar-benar mempunyai kestabilan dan konsistensi permainan bagus di era '60-an.
Napoli menjadi salah satu di antara deretan klub Italia yang pernah merasakan sentuhan magis pemilik jersey no.10 kala dikenakan oleh 'seorang tuhan' yakni Diego Armando Maradona. Pemain yang dikenal dengan gol tangan tuhannya ini mampu mempersembahkan gelar Scudetto Serie A yang pertama untuk Napoli pada musim 1986/87. Gelar ini bukan saja menjadi yang teratas dalam klasemen akhir Serie A pada masa itu, namun juga mempunyai arti keberhasilan membungkam kekuatan, kejayaan, dan keangkuhan industrialisasi kota Milan dan Turin di Italia bagian utara. Maradona menyulap Napoli menjadi klub pertama di wilayah selatan Italia yang mampu mengangkangi klub-klub bermandikan kekuasaan dan kekayaan di wilayah utara Italia. Tidak berhenti di situ, Maradona dan Napoli mampu mengulangi prestasi gemilangnya tersebut pada musim 1988/89 dan mengawinkannya dengan gelar UEFA Cup: sebuah cara brilian untuk membungkam kesombongan klub-klub Italia Utara meski tak mampu bertahan dalam kurun waktu yang lama. Dunia pun akhirnya paham mengapa Maradona dituhankan oleh seluruh publik di Italia Selatan dan Argentina.
Nomor 10 yang selalu menjadi kekasih 'Si Nyonya Tua'
Kembali ke bagian utara Italia. Cerita kesakralan jersey no.10 kali ini datang dari klub Juventus. Saya ingin mengawalinya dari seorang maestro asal Prancis yang kini menjabat sebagai Presiden UEFA, Michel Platini.
Platini datang ke Turin pada tahun 1982 dan langsung menjadi andalan 'Bianconeri' saat itu. Kejeniusannya dalam mengatur ritme permainan membawa Juve pada kesuksesan. 'Hanya' lima tahun di Turin, Platini mampu mempersembahkan dua Scudetto Serie A, satu Coppa Italia, dan satu trofi Liga Champions Eropa. Ia tampil sebanyak 147 pertandingan dan mampu mencetak 68 gol. Platini juga menyabet tiga gelar Ballon d'Or secara beruntun semasa mengenakan jersey no.10 'La Vecchia Signora'. Bagaimanapun jelek dan gendutnya Platini sekarang, saya akan berusaha meyakinkan anak dan cucu saya kelak bahwa Platini adalah salah satu kekasih 'Si Nyonya Tua' dan pesepakbola terbaik yang pernah ada di dunia.
Sepeninggal Platini, Juve menemukan sosok Roberto Baggio yang ditransfer sebesar €10 juta --rekor tertinggi transfer pemain saat itu-- dari Fiorentina pada musim 1990/91. Seperti halnya Platini, Baggio menjalin hubungan mesra dengan 'Si Nyonya Tua' selama lima tahun dengan sejumlah prestasi yang menakjubkan [masing-masing satu trofi Serie A, Coppa Italia, dan UEFA Cup; 141 laga/78 gol]. Kegemilangan juga ia tunjukkan di timnas Italia. Mengenakan jersey no.10, Baggio memimpin Italia di Piala Dunia 1994. Baggio menyumbangkan 5 gol dalam turnamen akbar tersebut dan mengantarkan Italia menapaki partai final kontra Brasil. Sayang, di partai final Baggio gagal menyarangkan bola ke gawang Claudio Taffarel dalam drama adu penalti yang membuat publik Italia berduka dan mengecamnya sebagai biang keladi kegagalan.
Pesepakbola yang menjadi penerus Baggio mengenakan jersey no.10 Juventus dan benar-benar mampu menghidupkan romantisme nilai-nilai historis dari nomor punggung keramat yang selalu diidentikkan dengan kualitas individu brilian adalah Alessandro Del Piero. Pemain kelahiran Conegliano - Italia ini adalah salah satu dari sedikit pesepakbola yang tidak bisa dibenci oleh fans manapun. Kharisma, kualitas, loyalitas, plus totalitas menjadikan Del Piero sebagai paket lengkap pesepakbola kelas dunia yang tak akan pernah mati dimakan pergeseran sang waktu. Kemuliaan pribadinya yang sangat berkelas tetap mampu ia tunjukkan kala harus angkat kaki dari Turin dan hingar bingar sepakbola Italia tahun lalu. Kebesaran jiwa 'Il Pinturicchio' dibuktikan saat ia bersikeras menolak ide manajemen Juventus yang ingin memensiunkan jersey no.10 sebagai kehormatan tertinggi untuknya. Del Piero bersikeras agar nomor punggung 10 tetap digunakan penerusnya, semacam keinginan untuk melihat pemain-pemain lain menjalani mimpi sebagai pesepakbola kelas dunia sepertinya di kemudian hari. Del Piero adalah cinta sejati 'Si Nyonya Tua', Del Piero adalah Juventus, Juventus adalah Del Piero.
Kini, jersey keramat yang musim lalu masih kosong itu telah memiliki tuan baru. Namanya adalah Carlos Tevez, rekrutan anyar Beppe Marotta dari Manchester City. Datang dengan transfer yang relatif murah --10 juta pounds, Tevez langsung dihadiahi jersey no.10 yang amat sangat keramat dan sakral. Saya adalah salah satu dari sekian yang meletakkan keraguan dan ketidak-setujuan atas keputusan ini. Bukan karena saya meragukan kredibilitas dan naluri gol Tevez, namun karena ada beberapa hal yang membuat saya merasa kalau ada yang lebih pantas menerima warisan tersebut. Meski begitu, saya tetap menyambut kedatangan Tevez menuju klub yang saya cintai dan akan terus saya banggakan ini dengan tangan terbuka serta segunung ekspektasi, tentunya.